Alhamdulillah
Yang Selalu Mengucap, "Alhamdulillah."
Bukan pada soal berapa, tetapi soal rasa yang memenuhi rongga dada yang menuntun hati dan lisan untuk selalu mengucap kata sebagai rasa syukur atas nikmat yang tersaji dalam berbagai rupa.
Matahari tak terlalu terik dan tak ada juga awan menyapa, langit yang membentang tampak cerah sehingga tercipta suasana bersahabat untuk segala aktivitas bagi mereka yang dianugerahi raga yang bugar.
Di belakang sebuah gedung anak-anak berkerumun membeli jualan seorang bapak yang sejak tadi pagi-pagi mengatur jualannya. Guratan rasa syukur terpancar dari wajahnya melalui lisannya yang selalu terucap kalimat, "Alhamdulillah." pada setiap sodoran uang yang ia dapatkan.
Allah menggerakkan kaki ini untuk berjalan mendekat dan membelanjakan sebagian rezeki kepadanya. Antrian anak-anak belum usai. Anak berikutnya maju menyodorkan uang Rp 2000. Terlontar lagi kalimat, "Alhamdulillah."
Kemudian anak berikutnya lagi menyodorkan uang Rp 1000, "Alhamdulillah." Kalimat yang terucap lagi saat menerima uang itu. Hingga akhir setiap kali pembeli membayar, dia selalu menerima dengan iringan kalimat, "Alhamdulillah."
Rasanya merinding tiap kali ucapan kalimat itu terdengar dari lisannya. Ucapan atas segala yang ia dapatkan meski nilainya terlihat kecil dari pandangan manusia, tetapi bernilai berbeda karena rasa penerimaannya. Memang segalanya telah terjamin, tetapi cara menjemputnya adalah pilihan.
Rasa penerimaan yang begitu lapang ini rupanya tak sebanding dengan penerimaan seorang sahabat mulia yang bernama Abu Qilabah. Dari orang-orang terdahulu kita belajar tentang kemuliaan menghamba.
Dari negeri Mesir pada masa itu. Seorang sahabat bernama Abdullah bin Muhammad melihat sebuah tenda, kemudian ia masuk untuk melihat apa yang ada di dalam. Didapatinya seorang laki-laki tidak biasa yang bernama Abu Qilabah.
Kondisinya sedang berbaring, kaki dan tangannya buntung, telinganya sulit mendengar, matanya buta, dan tidak ada yang tersisa selain lisannya untuk berbicara. Lisan yang selalu mengucapkan kalimat, “ Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia."
Rasa penasaran menghampiri Abdullah bin Muhammad, kemudian lantas dia bertanya, "Wahai saudaraku, nikmat yang mana kamu syukuri?"
"Wahai saudaraku, diamlah. Demi Allah, seandainya Allah datangkan lautan, niscaya laut tersebut akan menenggelamkanku atau gunung api yang pasti aku akan terbakar atau dijatuhkan langit kepadaku yang pasti akan meremukkanku. Aku tidak akan mengatakan apapun kecuali rasa syukur," jawab Abu Qilabah.
Sekali lagi Abdullah bin Muhammad bertanya, "Wahai saudaraku, engkau bersyukur atas apa? Kudengar kau mengulang-ulang perkataan, “ Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, miskin, buntung kedua tanganmu, dan sebatang kara pula?”
"Bukankah Allah telah memberikan pendengaran yang bisa kupakai untuk mendengar azan, lisan yang bisa kupakai untuk berdzikir dan mengutarakan keinginanku," jawabnya.
Jawaban menggetarkan dari seseorang yang memiliki iman telah mengakar kuat dalam dadanya.
Komentar
Posting Komentar