Kesedihan dan Kisah Abu Dujanah
"Kesempatan menikmati dan menghirup udara hari ini adalah berkah yang mengandung tanggung jawab."
***
Sedih seperlunya, kemudian kembali bangkit menyusun bata-bata penyemangat. Tak ada yang abadi, begitu pula dengan kesedihan, suatu masa akan terganti dengan bahagia. Jika terus tenggelam dalam kesedihan, artinya tak siap untuk menjalani hari-hari ke depan.
Setiap orang memimpikan kedamaian tanpa diusik kesedihan. Namun, itu semua tak semudah angan-angan. Ada hal yang terjadi meski manusia tak menginginkannya.
Dikisahkan bahwa ada seorang peserta seminar bertanya kepada pemateri, "Mana yang lebih banyak di dunia ini, orang yang hidup bahagia atau sedih?"
Pertanyaan yang sulit dijawab karena pertanyaan itu membutuhkan penelitian atau survei untuk membuktikannya, tetapi bisa dilihat dari indikasi-indikasi yang ada.
Bisnis tempat-tempat hiburan semakin berkembang, di televisi lebih banyak menayangkan acara hiburan seperti film, musik, lawak, dan sejenisnya.
Artinya banyak orang membutuhkan hiburan. Bukankah dalam hukum permintaan semakin banyak yang membutuhkan, maka sebuah perusahaan akan semakin banyak memproduksi barang yang dibutuhkan? Dengan adanya ini mengindikasikan bahwa banyak orang membutuhkan hiburan untuk mengobati hatinya.
Buku yang berjudul 'La Tahzan' yang artinya jangan bersedih, karya Dr. 'Aidh al-Qarni menjadi salah satu buku terlaris di dunia (best seller). Buku itu dicetak dalam berbagai bahasa di dunia.
Larisnya buku itu mengindikasikan banyaknya orang yang butuh pengetahuan untuk menghilangkan rasa sedih untuk memperoleh yang namanya kebahagiaan.
Jikalau kisah kisah kesedihan dialami setiap manusia diadukan ke Rasulullah, akankah seharu dan semembekas kisah Abu Dujanah?
"Wahai Abu Dujanah, apakah kamu tidak memiliki hajat yang ingin kamu sampaikan pada Rabbmu sehingga kamu selalu bangkit dan langsung pergi usai salat tanpa menunggu pembacaan doa?" Tanya Rasulullah.
"Wahai Rasulullah, aku punya satu alasan," jawabnya.
"Apa alasanmu? Coba ceritakan," perintah Rasulullah.
"Rumah kami berdampingan persis dengan rumah seorang laki-laki. Di atas pekarangan rumah milik tetangga kami ini, terdapat satu pohon kurma menjulang, dahannya menjuntai ke rumah. Setiap kali ada angin bertiup di malam hari, kurma-kurma tetanggaku tersebut saling berjatuhan, mendarat di rumah," kata Abu Dujanah mulai bercerita.
"Ya Rasulullah, kami keluarga orang yang tak berpunya. Anakku sering kelaparan, kurang makan. Saat anak-anak bangun, apa pun yang didapat, mereka makan. Oleh karena itu, setelah selesai salat aku bergegas pulang sebelum anak-anak terbangun dari tidurnya. Aku dan istriku mengumpulkan kurma-kurma milik tetangga yang berceceran di halaman rumah, lalu kami antarkan kepada pemiliknya," lanjutnya
Suatu saat dia terlambat pulang ke rumah. Anak-anaknya terbangun dan menemukan kurma tetangga yang jatuh dari pohonnya. Tak menunggu lama, sang anak langsung memakan kurma tersebut.
Ia menyaksikan, tampak anaknya sedang mengunyah kurma basah di dalam mulutnya. Ia habis memungut kurma yang telah jatuh semalam. Mengetahui hal itu, ia memasukkan jari-jari tangannya ke mulut anaknya. Ia keluarkan apa pun yang ada di sana.
"Nak, janganlah engkau permalukan ayahmu ini di akhirat kelak, " nasehatnya. Mengalirlah buliran bening di sudut mata anaknya karena sangat kelaparan.
"Wahai Rasulullah, aku katakan kembali kepada anakku itu, "Hingga nyawa kalian lepas pun, aku tidak akan rela meninggalkan harta haram dalam perut kalian." Seluruh isi perut yang haram itu, akan aku keluarkan dan akan aku kembalikan bersama kurma-kurma yang lain kepada pemiliknya yang berhak," cerita Abu Dujanah dengan tertunduk sedih.
Pandangan mata Rasulullah langsung berkaca-kaca mendengar pengakuan Abu Dujanah. Butiran air mata mulianya berderai begitu deras.
Komentar
Posting Komentar