Bukan Tak Memaafkan
“๐๐ฆ๐ต๐ข๐ฑ๐ช ๐ฃ๐ข๐ณ๐ข๐ฏ๐จ๐ด๐ช๐ข๐ฑ๐ข ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ด๐ข๐ฃ๐ข๐ณ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ข๐ง๐ฌ๐ข๐ฏ, ๐ด๐ถ๐ฏ๐จ๐จ๐ถ๐ฉ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ฆ๐ฎ๐ช๐ฌ๐ช๐ข๐ฏ ๐ช๐ต๐ถ ๐ต๐ฆ๐ณ๐ฎ๐ข๐ด๐ถ๐ฌ ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฃ๐ถ๐ข๐ต๐ข๐ฏ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ถ๐ญ๐ช๐ข.” (Qs. Asy-Syura:43).
Kesabaran tidak memiliki batas, hanya diri yang membatasinya, kalau pun ada, batasan terbaik dari kesabaran adalah diam.
Dari rasa sakit kita mengukur kadar kesabaran dan keikhlasan. Semua orang pernah mengalami rasa sakit, tetapi orang-orang bijak justru rasa sakit yang dialaminya menjadikan mereka lebih terdidik.
Beberapa tahun yang lalu, dalam keramaian terlihat orang-orang sibuk menyiapkan segala kebutuhan perhelatan sebuah acara. Hilir mudik orang-orang terdekat rumah itu tak terelakan. Kelompok-kelompok kecil dalam menyiapkan acara menjadi hal yang biasa. Dalam asyik keramaian rasa sakit menghampiri seseorang, bukan sakit yang tampak, tetapi rasa sakit akibat luka yang tersembunyi.
“Entah mengapa, setiap mengingat kejadian itu selalu rasanya seperti ini. Padahal dengan sekuat tenaga, ilmu, dan iman yang kumiliki aku memaafkannya,” kalimat yang diucapkannya untuk mengawali cerita ini.
“Apakah gerangan yang terjadi? Aku mengenalmu dengan baik. Kamu bukan orang yang menyimpan rasa sakit dan sulit memaafkan orang lain.”
“Dengan segala tata krama yang pernah diajarkan, aku memberi masukkan tentang hal yang berkaitan dengan kegiatan itu, mungkin banyak kekurangan dan kesalahan kata saat aku menyampaikannya, tetapi diteriaki dan dimarahi di depan khalayak adalah hal yang pertama kali ku alami,” jawabnya.
Masa lalu adalah bagian hidup yang susah untuk dihapus. Sampai hari ini, ketika memori memutar kembali kejadian itu matanya selalu berkaca-kaca dan saat itu pula ia selalu berbisik pada hatinya, “Aku telah memaafkannya.”
Balasan untuk mereka yang selalu memberi maaf adalah kemuliaan. Hal itu telah diperlihatkan pada Rasulullah.
Suatu hari, Rasulullah di hadapan para sahabatnya dengan pelupuk mata telah dibasahi buliran bening dan rasa khawatir. Dengan heran beberapa sahabat saling tatap dengan penuh tanya. Sejenak Rasulullah mengangkat wajahnya yang bersinar dan seutas senyum merekah di bibirnya.
“Wahai Rasulullah, ada apa kiranya sehingga engkau terlihat khawatir dan sejenak kemudian tersenyum bahagia?” tanya salah seorang sahabatnya.
“Telah diperlihatkan kepadaku dua orang dari kalangan umatku yang bersengketa dan menggugat di hadapan Allah. Salah satu di antara mereka dengan wajah tertunduk berkata, “Ya Rabb, tegakkan keadilan di antara kami. Dahulu di dunia dia menzalimiku.”
Orang yang tergugat itu takut dan tertunduk malu serta menangisi segala kelalaiannya. Kemudian Allah memanggil penggugat itu, “Wahai hamba-Ku, angkatlah kepalamu.” Perlahan si penggugat mengangkat wajahnya dan matanya langsung tertuju pada sebuah istana nan megah yang mempesonakan mata. Dia merasa takjub melihatnya. Istana itu terbuat dari emas dan permata serta dihiasi dengan mutiara.
“Ya Rabb, milik Nabi siapakah istana ini?” tanya Si Penggugat. “Tidak harus seorang Nabi yang berhak atas istana ini,” jawab Rabbnya. “Atau milik orang syahid yang manakah istana ini, Ya Rabb?” tanya si Penggugat lagi. Tidak harus seorang syahid yang berhak atas istana ini,” jawab Rabbnya. “Jika demikian, untuk siapakah istana itu, Ya Rabb,” tanya Si Penggugat dengan rasa penasaran.
Allah kembali menjawab, “Istana ini akan menjadi milik siapa pun yang mampu membayarnya.”
“Berapa harganya, dengan apa orang yang menginginkan dapat menebusnya, dan siapakah yang beruntung bisa memiliki istana ini, Ya rabb?” tanya Si Penggugat dengan menggebu-gebu. “Orang yang beruntung dan sanggup membayarnya itu adalah dirimu, jika kamu memaafkan saudaramu itu (tergugat), niscaya istana ini akan menjadi milikmu.”
“Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, Ya Rabb. Sungguh, kini aku telah memaafkan saudaraku ini! Aku benar-benar telah memaafkannya!” teriak Si Penggugat dengan perasaan bahagia yang tidak bisa dilukiskan,
Allah pun mendamaikan mereka berdua. Kepada yang memaafkan Allah anugerahkan istana keampunan di dalam surga. Dan ternyata mereka di dunia bersaudara dan saling mencintai karena-Nya, maka Allah mengaruniakan pula bagi Si Tergugat (yang dimaafkan) sebuah istana di hadapan istana Si Penggugat.
“๐๐ข๐ฏ ๐๐ข๐ฎ๐ช ๐ญ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ฑ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐จ๐ข๐ญ๐ข ๐ณ๐ข๐ด๐ข ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ข๐ฎ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ ๐ฉ๐ข๐ต๐ช ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฌ๐ข; ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฌ๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ข๐ด๐ข ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ด๐ข๐ถ๐ฅ๐ข๐ณ๐ข, ๐ฅ๐ถ๐ฅ๐ถ๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฉ๐ข๐ฅ๐ข๐ฑ-๐ฉ๐ข๐ฅ๐ข๐ฑ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช ๐ข๐ต๐ข๐ด ๐ฅ๐ช๐ฑ๐ข๐ฏ-๐ฅ๐ช๐ฑ๐ข๐ฏ.” (Qs. Al-Hijr : 47).
Memaafkan memang sulit jika rasa sakit itu telah menyentuh bagian hati yang terdalam. Namun, semakin sulit manusia merasakannya, balasannya pun semakin besar.
Komentar
Posting Komentar